10.000 Pejuang Palestina Berani Bertahan Lawan Serbuan 100.000 Pasukan Israel di Gaza

10.000 Pejuang Palestina Berani Bertahan Lawan Serbuan 100.000 Pasukan Israel di Gaza

10.000 pejuang Palestina berani bertahan lawan serbuan 100.000 pasukan Israel di Gaza… Simak strategi, analisis militer, dan dampak kemanusiaan dari pertempuran tidak seimbang ini.

10.000 Pejuang Palestina Bertahan Hadapi 100.000 Pasukan Israel

10.000 Pejuang Palestina Berani Bertahan Lawan Serbuan 100.000 Pasukan Israel di Gaza

GAZA – Dalam sebuah konfrontasi yang sangat tidak seimbang, sekitar 10.000 pejuang Palestina berani bertahan lawan serbuan 100.000 pasukan Israel yang dilengkapi dengan persenjataan canggih dan dukungan teknologi militer mutakhir. Pertempuran di Jalur Gaza ini telah menjadi salah satu ujian ketahanan militer paling ekstrem di abad ke-21, menggambarkan perjuangan antara kekuatan konvensional superior melawan taktik gerilya urban yang gigih dan mematikan. Dunia menyaksikan bagaimana ketimpangan kekuatan tidak serta-merta menentukan hasil akhir sebuah peperangan.

Konflik yang memanas sejak serangan Hamas pada 7 Oktober lalu telah memasuki fase ground invasion terbesar yang pernah dilakukan Israel di Gaza. Sejak akhir Oktober, IDF (Israel Defense Forces) telah memobilisasi sekitar 100.000 pasukan Israel yang terdiri dari infantri, unit zeni tempur, dan pasukan lapis baja untuk mengepung dan memasuki kota-kota utama seperti Gaza City, Khan Younis, dan Rafah. Tujuan deklarasi mereka adalah membebaskan sandera dan melucuti kemampuan militer Hamas secara total. Namun, menghadapi sekitar 10.000 pejuang Palestina dari berbagai faksi, termasuk Brigadir Al-Qassam (sayap militer Hamas), mereka menghadapi perlawanan sengit yang jauh melampaui perkiraan intelijen mereka.

Keunggulan dan Kelemahan Masing-Masing Pihak

Di atas kertas, kekuatan 100.000 pasukan Israel tampak tak terbendung. IDF didukung oleh Angkatan Udara Israel (IAF) yang memiliki superioritas udara mutlak, artileri berat, kendaraan lapis baja Merkava, dan sistem intelijen berbasis AI seperti Platform ‘Gospel’ (Habsora). Mereka juga memiliki dukungan logistik, medis, dan teknologi yang sangat terorganisir. Setiap pergerakan pasukan besar-besaran ini ditujukan untuk meminimalisir korban di pihak Israel sambil memaksimalkan dampak terhadap kekuatan Hamas.

Baca Juga:  Kapal Perang Rusia Lakukan Latihan Militer di Laut Kaspia

Sebaliknya, 10.000 pejuang Palestina mengandalkan faktor-faktor yang tidak terlihat di atas kertas. Keunggulan utama mereka adalah medan pertempuran: lingkungan urban Gaza yang padat dan hancur, yang menjadi labirin sempurna untuk perang gerilya. Mereka juga menguasai medan bawah tanah melalui jaringan terowongan (Gaza Metro) yang sangat luas, diperkirakan mencapai ratusan kilometer. Jaringan ini berfungsi sebagai tempat persembunyian, rute logistik, pos komando, dan titik untuk melancarkan serangan mendadak. “Mereka (IDF) menguasai tanah, tetapi kami menguasai apa yang di bawah tanah,” ujar seorang komandan Al-Qassam yang hanya dikenali sebagai ‘Abu Ahmad’ dalam sebuah pesan audio yang beredar.

Gerilya Urban dan Jaringan Tunnel Bawah Tanah

Strategi yang diterapkan oleh 10.000 pejuang Palestina adalah textbook asymmetric warfare. Alih-alih menghadapi langsung kekuatan besar Israel, mereka memecah diri menjadi unit-unit kecil yang sangat mobile. Mereka menggunakan senjata rakitan seperti rudal RPG (Rocket-Propelled Grenade) dan senapan sniper untuk menghadang konvoi lapis baja. Mereka juga banyak menggunakan perangkap bom (IEDs/IED – Improvised Explosive Device) yang dipasang di jalan, bangunan, dan bahkan di dalam terowongan.

Jaringan terowongan bawah tanah adalah jantung dari perlawanan ini. Terowongan tidak hanya digunakan untuk bergerak secara diam-diam dan melancarkan serangan “pop-up” di belakang garis musuh, tetapi juga untuk menyimpan persediaan senjata, logistik, dan melindungi para pejuang dari serangan udara dan artileri yang terus-menerus. Seorang analis militer dari Institute for the Study of War (ISW), John Ferguson, menjelaskan, “IDF menghadapi tantangan operasional yang monumental. Membersihkan setiap terowongan membutuhkan waktu, sumber daya, dan membahayakan nyawa pasukan. Ini adalah proses yang lambat dan berdarah-darah, yang memberi keuntungan strategis bagi pihak bertahan.”

Baca Juga:  Satu Komandan & Tiga Perwira IDF Tewas dalam Serangan Hamas di Gaza

Dampak Kemanusiaan dan Respons Internasional

Pertempuran sengit antara 10.000 pejuang Palestina dan 100.000 pasukan Israel ini memiliki dampak kemanusiaan yang sangat menghancurkan bagi warga sipil Gaza. Operasi militer besar-besaran yang melibatkan pemboman artileri dan udara telah meratakan seluruh kawasan permukiman. Menurut laporan terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza, korban tewas telah melampaui 34.000 jiwa, dengan mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 1,7 juta penduduk juga terpaksa mengungsi, menciptakan krisis kemanusiaan yang parah dengan kelangkaan makanan, air bersih, obat-obatan, dan layanan kesehatan.

Respons internasional semakin keras. PBB, melalui berbagai resolusi, telah menyerukan gencatan senjata yang manusiawi. Beberapa negara, termasuk Spanyol, Irlandia, dan Norwegia, telah mengambil langkah diplomatik konkret dengan mengakui kedaulatan Negara Palestina, sebagai bentuk tekanan politik terhadap Israel. Lembaga-lembaga HAM dunia juga terus mendesak agar hukum humaniter internasional ditegakkan dan akses bantuan kemanusiaan dibuka seluas-luasnya.

Jalan Buntu Militer dan Jalan Damai?

Setelah berbulan-bulan pertempuran, pertanyaannya adalah: apakah strategi 100.000 pasukan Israel dapat mencapai tujuan akhirnya? Meskipun IDF melaporkan telah menewaskan ribuan pejuang dan menghancurkan banyak terowongan, mereka belum berhasil sepenuhnya melumpuhkan Hamas atau membebaskan semua sandera. Perlawanan masih berlanjut. Situasi ini menunjukkan potensi jalan buntu militer (military stalemate), di mana biaya operasi yang terus berlanjut—baik dalam hal korban jiwa, finansial, dan tekanan diplomatik—menjadi semakin tidak tertahankan bagi Israel.

Di sisi lain, 10.000 pejuang Palestina, meski menunjukkan ketahanan yang luar biasa, juga tidak mungkin “memenangkan” perang konvensional ini. Mereka terus bertahan dengan korban yang juga besar. Jalan ke depan yang paling realistis tampaknya akan kembali ke meja perundingan, yang difasilitasi oleh pihak ketiga seperti Mesir dan Qatar, menuju gencatan senjata yang permanen dan mungkin pembicaraan pertukaran tahanan. Namun, kepercayaan antara kedua pihak hampir tidak ada, membuat proses damai menjadi sangat rumit dan rentan collapse.

Baca Juga:  Jaga Disertasi Pilpres 2024, Mentrans RI Lulus Doktor Ilmu Politik Unpad

Pelajaran dari Ketidakseimbangan Kekuatan

Konfrontasi antara 10.000 pejuang Palestina berani bertahan lawan serbuan 100.000 pasukan Israel di Gaza memberikan pelajaran mendalam tentang hakikat perang modern. Ini membuktikan bahwa teknologi dan jumlah pasukan yang superior bukanlah jaminan kemenangan mutlak ketika berhadapan dengan musuh yang memiliki motivasi tinggi, menguasai medan tempur, dan menggunakan strategi asimetris yang efektif.

Perlawanan sengit ini telah mengubah narasi konflik, mengalihkan perhatian global dari sekadar kekuatan militer Israel kepada ketahanan rakyat Palestina dan biaya kemanusiaan yang sangat tinggi. Ini memperkuat argumen bahwa solusi berkelanjutan untuk konflik ini tidak akan pernah ditemukan melalui kekuatan militer saja, tetapi harus melalui solusi politik yang adil yang menjamin keamanan dan kedaulatan bagi kedua belah pihak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *