Pedoman Tangerang –
Sejak menjadi Gubernur Jawa Barat di bulan Februari 2025, Dedi Mulyadi membawa perspektif segar ke ranah komunikasi politik Indonesia. Melalui penggunaan intensif media sosial, dia tidak hanya menjalin komunikasi dengan masyarakat umum, namun juga menciptakan cerita kepemimpinannya yang dirancang dalam bentuk hiburan. Gelaran ‘Gubernur Konten’ yang dikenalkan kepada dirinya lebih dari sekedar sebutan populer; itu adalah wujud nyata dari taktik politainment — gabungan unik antara bidang politik dan hiburan yang bergantung pada efek viral dan partisipasi emosi pendukungnya.
Phenomena ini bisa dianalisis lewat dua perspektif reflektif kritis. Yang pertama, metode komunikasi Dedi menghasilkan suatu hyperreality di mana gambaran digital tentang kepemimpinan—berupa senyum, gerak tubuh simpatetik, serta cerita humanis—menjadi pengganti dari esensi substansial keputusan politiknya. Politik pun berubah jadi sebuah simulasi: apa yang ditampilkan adalah tak lagi soal implementasi kebijakan tersebut, tetapi lebih pada produksi ulang wajah dan perasaannya dalam dunia maya secara konstan. Perspektif kedua menunjukkan bahwa pendekatan seperti ini membawa risiko mereduksi fungsi area umum sebagai tempat untuk dialog rasional. Saat prinsip “tonton saja” memegang kendali utama, maka ujian atas kebijakan sudah bergeser dari proses debat bersama publik menuju seberapa banyak like, share, dan komentar viralmu.
Tindakan Dedi Mulyadi merupakan ilustrasi konkret tentang bagaimana komunikasi politik berubah menuju performa dan estetika digital. Di satu pihak, hal itu membuka jalinan hubungan serta kemudahan interaksi antara para pemimpin dengan masyarakatnya. Akan tetapi, disitulah juga terdapat risiko bahwa demokrasi bisa menjadi semacam hiburan yang menggugah emosi tanpa adanya tempat untuk introspeksi secara mendalam.
Legitimasi, Algoritma, dan Kontroversi
Dedi Mulyadi telah mengembangkan model komunikasi politik yang amat kental dengan unsur-unsur visual, penuh emosi, serta berfokus pada penampilan. Dia tidak hanya bertindak sebagai pemimpin, tapi juga aktif di pentas politik digital. Gaya kerjanya mencerminkan taktik yang menyatukan bidang politik dan hiburan, menjadikan platform-media sosial sebagaimana adanya sebagai arena pertunjukan tersebut.
Pembuatan konten merupakan dasar penting untuk membentuk citra Dedi di hadapan masyarakat. Berdasarkan data, terlihat bahwa sejak awal periode pemerintahannya, dia sudah memposting lebih dari 495 kiriman di Instagram dan 4.200 video di YouTube, dengan jumlah postingan bisa sampai 3 hingga 5 kali per hari. Lebih dari sekedar statistik ini, apa yang membuatnya menonjol adalah cerita yang diciptakannya: Dedi dipersepsikan sebagai sosok yang populer dan mendekati kalangan bawah.
Dia sering kali menghadirkan monolog dengan nada penuh emosi, sambil menyapa penduduk di permukiman kurang layak, atau melaksanakan gerakan dramatis seperti langsung melompat ke sungai guna membersihkan sampah. Semua tindakan tersebut sebagai bentuk kepemimpinan ‘mengarah turun’ — meskipun belum tentu dibarengi dengan penataan struktur yang lebih baik. Mengenai pengeluaran dana, Dedi bahkan menyebut bisa mereduksi budget promosi dari 50 miliar rupiah hingga tinggal 3 miliar rupiah setiap tahunnya lewat strategi viralisasi alami. Penghematan semacam itu secara otomatis menjadikan dirinya unggul dalam perspektif politik.
Kesuksesan Dedi tak lepas dari kemampuan dirinya dalam memahami dinamika media digital. Platform TikTok dan Instagram merupaakn saluran kunci dengan jumlah pengikut sekitar 6 juta untuk TikTok dan 3 juta untuk Instagram, guna menjangkau kalangan pemuda sebagai basis dukungan potensialnya. Keberadaan para pembantu setia serta akun-akun pendukung lainnya yang rutin mendistribusikan ulang materi milik Dedi pada platfrom seperti Twitter dan YouTube telah membentuk sebuah sistem penyebaran informasi yang sangat luas namun juga rawan akan perubahan makna pesan aslinya.
Dalam situasi tersebut, algoritma bukan hanya merupakan instrumen teknologi saja tetapi turut menjadi elemen penting dalam taktik politikal; mereka yang dapat mengendalikan laju fenomena viral memiliki peluang besar untuk mempengaruhi persepsi umum.
Seringkali, Dedi menggunakan kontroversi sebagai alat politik. Satu program yang menarik perhatian adalah ‘pemulihan militer’ untuk remaja bermasalah, yang disoroti oleh Komnas HAM karena dianggap merugikan hak anak, tapi malah menerima dukungan dari Menteri HAM Natalius Pigai. Sama halnya dengan keputusan tiba-tiba mencabut izin wisata Puncay, langkah tersebut dilihat positif dari segi media, tetapi diragukan sisi hukuminya. Pendekatan semacam itu mirip dengan metode ‘terapi kaget’: tindakan cepat, dramatis, dan mudah dicerna publik, walaupun bisa saja mengesampingkan aturan formal dan isi dari kebijakan jangka panjang.
Strategi Dedi Mulyadi menggambarkan sisi baru dari politik Indonesia: satu yang dirancang mirip dengan acara realita, di mana legitimasi tindakan tidak lagi dilihat berdasarkan dampak keputusan-keputusannya, namun lebih kepada respons audiens secara daring. Dia berhasil membentuk citra kepemimpinan yang ‘tersedia’ hampir setiap saat di perangkat milik rakyatnya. Namun, dibalik hubungannya yang luar biasa ini, timbul sebuah pertanyaan pokok: Apakah sistem demokrasi masih dapat bertahan jika esensi diskusi logis digantikan oleh algoritma dan emosi?
Demokratisasi serta Degradasinya Ruang Publik
Phenomenon Dedi Mulyadi sebagai ‘Governor of Content’ menghadirkan dilema yang menarik dalam dinamika demokrasi digital Indonesia. Di satu sisi, dia terlihat memberikan semburan baru pada komunikasi politik yang lebih bersahabat dan dekat dengan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, pendekatan politainment yang dibangunnya secara bertahap membuat esensi demokrasi berkurang hingga hanya menjadi pertunjukan yang penuh emosi dan cepat dilupakan. Saat politik dipresentasikan layaknya konten populer, garis pemisah antara keterlibatan warga negara dan pengendalian publik mulai memudar.
Interaksi langsung Dedi dengan masyarakat lewat platform media sosial sering kali dicalonkan sebagai bentuk demokratisasi komunikasi—masyarakat bisa mengutarakan kritik dan saran mereka bahkan sampai ke bagian kolom komentar. Akan tetapi jika kita telaah lebih jauh lagi, jenis hubungan tersebut mirip seperti sebuah monolog yang disamarkan sebagai interaksi nyata. Tak adanya proses pengendalian balik atau penguatan pendapat-pendapat publik membuat suara masyarakat tak pernah benar-benar tersaring secara efektif. Ini membentuk kesan bahwa semua orang ikut serta, meskipun pada dasarnya mereka cuma tunduk kepada cerita-cerita yang sudah dirancang sedemikian rupa.
Selanjutnya, tren ini malah merusak peran lembaga-lembaga formal. Misalkan saja DPRD Jawa Barat sering kali kaget dengan pengumuman kebijakan vital yang sebenarnya telah muncul lebih dulu di media sosial bukan pada pertemuan resmi mereka. Prinsip ‘checks and balances’ — tulang punggung dari demokrasi berkonstitusi — terancam hancur akibat logika isi konten yang cenderung memprioritaskan penyebaran cepat untuk mendapatkan popularitas atas diskusi instansi formal.
Sebaliknya, cerita yang diciptakan Dedi di berbagai karyanya umumnya menempatkannya sebagai ‘pelindung bagi masyarakat biasa’ bertentangan dengan ‘pemimpin-pemimpin corrupt dan sistem pemerintahan yang kurang efektif’. Hal tersebut membentuk paradigma yang mereduksi kesulitan-kesulitan sosial menjadi skema pemikiran ‘kami versus mereka’. Akibatnya, audiens dipaksa memutuskan sikap: mendukung atau menolak, tanpa memberi tempat pada ragam sudut pandang. Di era dunia maya yang dikuasai oleh algoritme seperti sekarang, perbedaan opini macam itu dapat tersebar luas serta berkembang pesat.
Kondisi semakin rumit karena adanya berita bohong dan informasi salah. Sejumlah materi dari Dedi yang telah dimodifikasi lalu disebar kembali oleh pihak lain—tanpa ada pembenaran atau konteks yang sesuai—menciptakan interpretasi tidak terkontrol, contohnya seperti pada insiden pelarangan ‘study tour’ yang sempat mengundang diskusi besar namun tanpa dasar hukum yang kuat. Saat cerita dianggap lebih dapat dipercaya dibanding fakta, serta saat rasa emosional mendominasi alih-alih logika, maka area umum bukannya menjadikan sarana untuk pertemuan pikiran rasional, tetapi malahan zona konflik antara pandangan-pandangan.
Tindakan Dedy Mulyadi juga menggambarkan bagaimana proses komersialisasi politik semakin dalam. Kebijakan yang harus dinilai berdasarkan efisiensinya serta pengaruhnya pada masyarakat kini justru dilihat dari tingkat popularitasnya di platform seperti TikTok atau YouTube. Contohnya, video pembagian uang tunai lebih banyak disoroti karena sifat hiburan yang ditawarkannya dibandingkan dengan pertanyaan tentang kesinambungan atau keadilan tindakannya. Di sinilah politik telah berubah menjadi sebuah panggung besar, sedangkan rakyat hanya bertugas sebagai penonton dan subjek saja.
Pada situasi tersebut, Dedi telah berkembang menjadi lebih dari seorang gubernur; dia kini juga merupakan bintang terkenal. Sebutan ‘Bapak Aing’ tidak hanya merujuk pada sapaan informal melainkan pula sebagai ikon perubahan dalam fungsi pemimpin yang harus senantiasa tampak ramah, ceria, dan mudah ditemui — bahkan jika hal itu berarti melenyapkan garis pembatas antara etika pekerjaan birokratis dengan identitasnya sendiri. Inilah fenomena selebrifikasi politik: dimana penilaian atas kepemimpinan didasarkan bukan semata-mata pada kemampuan membuat keputusan bijaksana, tapi lebih kepada pesona individu serta bagaimana ia dipresentasikan secara visual di media massa.
Di tengah lingkungan global yang kian dipengaruhi oleh aspek visuales dan kelancaran penyampaian informasi, pendekatan ‘politainment’ milik Dedi Mulyadi mencerminkan evolusi komunikasi politik di zaman digital. Tetapi intinya masih berbekal pada dilema: Apakah hal ini adalah versi baru dari demokrasi yang lebih mendekati publik, atau malahan sekadar penampakan modernisasi populismes yang disamarkan melalui ekspresi tersenyum, iring-irama lagu belakang, serta teks-teks simpatetik? Demokrasi yang cenderung fokus hanya kepada presentasi diri saja bisa-bisa lambat laun mulai hilangkan esensi sebenarnya untuk melakukan tindakan nyata.
Hiperealisme, Pecahan, dan Aturan Sosial
Fenomena politainment yang diperankan oleh Dedi Mulyadi tidak hanya merupakan sebuah strategi komunikasi publik yang kreatif, tetapi juga mencerminkan perubahan fundamental pada bagaimana kekuasaan diciptakan, ditampilkan, dan dinikmati di masa kapitalisme platform. Saat algoritme memutuskan siapa saja yang terlihat dan suara apa yang didengar, politik mulai kehilangan sisi autentiknya—bertransformasi menjadi simulasi, pertunjukkan drama, serta sarana pengendalian yang halus tapi sangat efisien.
Menurut pandangan Jean Baudrillard, media sosial telah menciptakan hiperrealitas—a realita baru di mana gambar-gambar tidak hanya mewakili kenyataan, tapi malah menjadi pengganti dari kenyataan tersebut. Dalam hal kebijakan publik, situasi ini membuat keberadaannya kurang terlihat sebagai hasil proses logis berdasarkan analisis data dan penilaian, namun lebih sering terekam sebagai potongan visual yang melekat dalam memori akibat sensasionalismenya. Sebagai contoh program ‘pemulihan militer’ bagi remaja bermasalah, cenderung lebih dikenali sebagai klip video penuh dengan simbol-simbol patriotisme daripada ditinjau atas manfaatnya, aspek etikal serta implikasi jangka panjangnya.
Efek dari eksposur ekstrim media sosial ini membuat konten menjadi lebih penting daripada konteks. Politik pun tak ubahnya acara reality show, di mana realitas dikurasi, diedit, dan disutradarai untuk menghadirkan kesan kehadiran pemimpin yang kuat, cepat tanggap, dan dekat dengan rakyat—meskipun pada akhirnya, kedekatan itu hanyalah ilusi optik dari sebuah layar.
Dalam perspektif teori kritis, pendekatan ini menggambarkan bagaimana ‘lifeworld’ (dunia kehidupan) direngsek oleh mekanisme sistem. Wilayah tempat orang berinteraksi secara jujur dan melakukan dialog rasional telah diserbu oleh aturan ekonomi pasarnya serta algoritme dari platform-media sosial; saat ini, metrik seperti banyaknya ‘like’, pembagian konten (‘shares’), dan penonton (‘viewers’) lebih ditekankan sebagai ukuran kesuksesan dalam komunikasi politik daripada bobot argumentasi atau dedikasi terhadap prinsip-prinsip benar.
Sebaliknya dari meningkatkan diskusi umum, media sosial malah membentuk ruang publik digital yang terpecah-pecah — makin banyak orang dapat menyuarakan pendapat mereka, namun peluang untuk mencapai kesepakatan menjadi semakin berkurang. Di situasi seperti ini, cerita-cerita dengan daya tarik emosi tinggi cenderung menyebar cepat, di saat itu pula suara kelompok minoritas, informasi penting, serta debat-debat mendalam tersumbat oleh keriuhan.
Ironisnya, walaupun kelihatan sebagai sesuatu yang inklusif dan berorientasi horisontal, ruang publik digital sebenarnya cenderung bersifat eksklusif dalam kenyataannya—terkendali oleh aturan platform serta pihak-pihak yang memiliki kemampuan untuk memproduksi konten secara intensif. Akibatnya, hal ini menciptakan sebuah demokrasi palsu di mana hanyalah adanya penampilan partisipasi tetapi tidak ada substansial diskusi atau debat.
Selain itu, tindakan Dedi bisa dilihat pula sebagai bentuk biopolitis—di mana kekuatan tersebut tak lagi bertindak dengan cara keras, tapi malahan mengorganisir serta membentuk perilaku hidup, termasuk sampai pada aspek fisik seseorang. Proyek ‘pendidikan militer’ yang mencakup partisipasi TNI untuk mendidik pemuda bermasalah ini menunjukan bahwa negara menggunakan lembaga di luar sistem pendidikan formal sebagai alat pengendalian sosial.
Badan para pemuda ‘bandel’ tersebut tak cuma jadi target untuk pembinaan ulang, tapi juga subjek dari intervensi simbolis: mereka dikendalikan, diperbaiki sesuai dengan aturan disiplin, lalu dimunculkan kembali sebagai cerita penyelamatan bangsa terhadap generasi mudanya. Pada kasus seperti ini, isi pesannya nggak hanya bertindak sebagai sarana komunikasi, namun juga sebagai mesin ‘panoptikon’ modern—tempat di mana masyarakat, lewat media sosial, menjadi penjaga dan pada saat yang sama juga bisa dicek kegiatannya oleh orang lain.
Politainment yang diterapkan Dedi Mulyadi tidak muncul begitu saja tanpa latar belakang. Fenomena ini berkembang dengan pesat dalam lingkungan kapitalisme digital yang mengutamakan impresi dibanding isi, cepatnya informasi dibanding kedalamannya, serta cerita individu lebih diprioritaskan daripada kebijakan struktural. Di bawah perspektif ini, demokrasi tampak sebagai ‘simulacrum’ — representasi politik yang kurang memiliki kaitan langsung dengan realitas sosial, namun semata-mata menampilkan gambaran yang dirancang oleh perhitungan algoritmik. Pertanyaannya saat ini bukan lagi tentang efektivitas politainment tersebut, tetapi: apa sajakah yang terabaikan dari praktik politik ketika substansi menjadi korban untuk mendapatkan popularitas daring?
Pisau Bermata Dua
Fenomena Dedi Mulyadi sebagai ‘Gubernur Konten’ mewakili aspek paradox dari demokrasi digital Indonesia yang sedang berkembang. Di satu sisinya, keterlibatannya di platform-media sosial memperlihatkan hubungan visual palsu antara pejabat dengan penduduk — melalui komentar, like, serta video-video yang mengabadikan interaksi emosi seketika. Akan tetapi, pada saat bersamaan, dekat ini terjadi dalam area tidak setara; perbincangan berjalan hanya unidirectional dimana cerita diproduksi, diperhalus, dan ditata seluruhnya oleh tokoh politik tersebut. Berdasarkan hal itu, media sosial tampak lebih mirip teater pribadi daripada tempat diskusi umum.
Politainment seperti yang diterapkan oleh Dedi, bukan hanya sebagai metode komunikasi, namun juga merupakan alat penguasaan yang kuat: ini membentuk gambaran diri, mengendalikan persepsi masyarakat, bahkan lebih jauh lagi, menarik fokus dari isi materi ke elemen-elemen simbolisnya. Tanpa adanya tinjauan kritis, Jawa Barat bisa saja menjadi tempat uji coba utama untuk menjadikan politisi sebagai pemimpin gerakan publik, di mana mutu putusan ditimbang bukannya atas dasar pencapaian nyata, tapi seberapa tinggi penyebaran informasinya serta respon emosional massa terhadap hal tersebut. Kini, kebijakan sudah mulai dinilai dengan ‘tingkat interaksi’ daripada menggunakan patokan pengaruh sosial langsung, proses ini dapat menciderai esensi demokrasi.
Phenomenon ini membuat kita harus bertanya: di manakah tempat diskusi berfikir kritis yang jadi dasar bagi demokrasi kontemporer? Apabila arah keputusan diputuskan lewat kode program komputer dan niatan penampilan daring, maka demokrasi bisa saja disederhanakan menjadi sekadar atraksi dunia maya tanpa isi apa-apa—mereduksikan intervensi aktif warga negara hanya sebagai imitasi belaka yang lupa pada sistem ‘pengawasan saling menyeimbangkan’, peran serta secara sistematik, dan introspeksi mendalam.
[Penulis:
Abdul Hakim,
Dosen Ilmu Perbandingan Politik STISNU Nusantara Tangerang
]