KABAR BANDUNG
Mendekati Pemilihan Gubernur Jawa Barat tahun 2024, situasi politik lokal makin memanas, terutama mengenai hubungan diantara Dedi Mulyadi dan Ono Surono.
Kedua figur tersebut sering kali jadi pusat perhatian masyarakat akibat perbedaan pendapat yang signifikan dan tindakannya yang penuh tensi. Kondisi itu juga menimbulkan berbagai dugaan tentang orientasi dukungan partai beserta dampak dari kuatnya pengaruh politik nasional pada arena lokal.
Tension began to surface clearly when the issue of regional head nominations arose. Onno Surono, who holds the position as Chairman of the West Java PDIP Legislative Council, expressed his dissatisfaction with the internal dynamics within his party concerning strategic decisions for the upcoming elections.
Dia bahkan menuduh ada campur tangan sejumlah pihak yang mencoba mencegah calon-calon potensial untuk maju melalui jalurnya di partai.
Walaupun tidak menyinggung langsung namanya, pernyataan Ono dipahami oleh masyarakat sebagai kritikan terhadap para pemain politik utama yang dicurigai ikut mempengaruhi tata kelola aliansi di skala lokal.
Pada kesempatan kali ini, nama Dedi Mulyadi juga ikut tercatat lantaran peranannya yang ternama sebagai orang yang mempunyai jangkauan pengaruh yang luas serta berkomunikasi secara intensif dengan beberapa pihak kekuatan politik di tingkat nasional.
Perselisihan itu tak sekadar berakhir dengan perdebatan mengenai cerita mereka masing-masing, tetapi juga meluas hingga ke ruang diskusi formal di DPRD Jawa Barat. Saat Dedi Mulyadi memutuskan untuk enggan menyapa Ono Surono selama acara terbuka, hal ini sempat ramai dibicarakan dan menciptakan persepsi bahwa ada hubungan pribadi yang sungguhan yang dingin antara kedua belah pihak.
Di samping itu, diskusi terbuka yang berlangsung di ruangforum perancangan pengembangan zona tersebut semakin menggarisbawahi perselisihan antara kedua belah pihak. Di tempat tersebut, mereka saling melempar argumentasi tentang jalannya pembangunan serta aturan lokal, menunjukkan dengan jelas variasi pandangan masing-masing.
Walaupun perselisihan antara kedua belah pihak nampak sangat jelas, ada usaha-usaha untuk mengurangi ketegangan yang telah dijalankan. Dedi dan Ono pernah berpartisipasi dalam sebuah forum bersama guna mendiskusikan pembangunan wilayah Rebana, hal ini bisa menjadi indikator adanya potensi untuk membangun komunikasi yang lebih positif di masa depan walaupun pertemuan mereka kelihatannya agak kaku.
Sikap politik yang berbeda antara dua tokoh ini memperlihatkan betapa kompleksnya dinamika internal di tingkat daerah, apalagi saat momentum Pilkada semakin dekat. Posisi mereka, yang sama-sama memiliki massa dan dukungan, bisa menjadi kekuatan atau justru hambatan untuk mencapai kesepahaman.
Publik pun kini menanti arah akhir dari dinamika ini: apakah berujung pada kolaborasi atau malah saling menjatuhkan. Yang pasti, ketegangan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks persaingan partai, ambisi politik pribadi, dan tarik-menarik kepentingan pusat-daerah.
Tension between Dedi Mulyadi and Ono SurONO reflects disharmony within elite political communication in West Java. If not managed properly, this conflict could impede strategic decision-making processes in governance and regional development.
Meski demikian, peluang untuk berdamai dan fokus pada kepentingan masyarakat masih terbuka, asal keduanya mampu menurunkan ego dan mengedepankan dialog. Pilkada seharusnya menjadi ajang demokratis yang sehat, bukan arena konflik antar elit.***