Seminar Wawasan Pancasila: Munarman Bongkar Kebenaran Sejarah dan Manipulasi Politik dalam Asal-usul Pancasila

Seminar Wawasan Pancasila: Munarman Bongkar Kebenaran Sejarah dan Manipulasi Politik dalam Asal-usul Pancasila


RUBLIK DEPOK

– Pada seminar berjudul “Pancasila dalam Perspektif: Di antara Sejarah Nyata dan Dominasi Politik” yang diselenggarakan di Markaz Syariah, Jakarta pada hari Minggu (1/6/2025), Munarman, seorang pengacara serta aktivis, menyampaikan pemikirannya tentang perkembangan historis terbentunya Pancasila.

Pada penyampaiananya, Munarman menggarisbawahi perbedaan antara realitas historis dengan dominansi politik yang berdampak pada cerita-cerita tentang Pancasila, lebih spesifik lagi berkaitan dengan deklarasi kemerdekaan serta modifikasi Piagam Jakartaa.

Munarman menyatakan bahwa fakta historis adalah peristiwa di zaman lalu yang bisa memiliki banyak interpretasi, bergantung pada sudut pandang para aktor sejarah. “Tiap individu mungkin akan melihat fakta historis dengan cara yang unik,” katanya. Dia menambahkan ada beberapa cerita yang disampaikan, ditunjukkan, serta hal-hal lain yang justru dirahasiakan. Di sisi lain, hegemoni politik dipandang sebagai usaha untuk membimbing persepsi umum supaya sesuai dengan aliran pikir tertentu saja. Munarman percaya bahwa penetapan tanggal 1 Juni menjadi Hari Kelahiran Pancasila lebih mencerminkan dominansi kekuatan politik daripada realitas objektif dari apa yang benar-benar terjadi dalam catatan sejarah.

Debatt tentang PiagamJakarta serta Perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945

Munarman merujuk pada dua referensi, yakni tulisan oleh Sejarawan dan Budayawan, Almarhum Babe Ridwan Saidi (2007), serta Endang Saifudin, guna mendeskripsikan perubahan-perubahan penting dalam sejarah di era permulaan kemerdekaan.

Dia mengatakan bahwa pernyataan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur cuma disaksikan oleh 25 individu saja, termasuk kalangan nasionalis sekular dan Muslim, namun tak ada wakil dari pihak komunis, sosialisme, ataupun bukan pemeluk agama tersebut. Dia menegaskan, “Faktanya ini sangat sedikit diketahui yaitu mereka yang mendampingi pernyataan kemerdekaan itu hanyalah sekelompok tertentu dengan absennya kelompok-kelompok lain.”

Dia juga menyebutkan insiden pengambilan paksa Soekarno dan Mohammad Hatta oleh kelompok pemuda kiri di Rengasdengklok, yang diyakininya dipicu oleh kuasa sosialisme-komunis. Menurut Munarman, tindakan ini memaksa Soekarno dan Hatta mengumumkan kemerdekaan lebih dini daripada jadwal asli BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) yang direncanakan setelah tanggal 20 Agustus 1945.
“Isi proklamasi sebenarnya harus mencakup bab pertama sampai ketiga Piagam Jakarta, serta bagian keempat sebagai prakata UUD. Akan tetapi, hal itu tak terwujud akibat tekanan situasi pengambilan paksa,” paparnya.

Selanjutnya, Munarman menyatakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 petang, telah dilakukan pembicaraan mendalam yang menghasilkan modifikasi besar pada Piagam Jakarta. Keempat poin penting yang dimodifikasi tersebut antara lain: (1) pergantian frasa “mukadimah” dengan “pembukaan”; (2) penghilangan tujuh kata yakni “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dari kalimat ke empat; (3) penyegaran ulang Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 yang sebelumnya menetapkan presiden haruslah warga negara Indonesia murni dan beriman kepada agama Islam; serta (4) pencopotan ketentuan tentang kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam Ayat 1 Pasal 29.

Politik Dominan dan Dampak Luar Negeri

Munarman menyatakan bahwa klaim tentang Pancasila sebagai nilai utama bangsa Indonesia yang secara eksklusif dikembangkan oleh Soekarno belum tentu tepat. Dia merujuk pada pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945, dimana ia mengaku dipengaruhi oleh seorang sosialis Belanda bernama Abars saat masih remaja dan hal ini memotivasinya lebih mendahulukan kemanusiaan global daripada nasionalisme. Tidak hanya itu, inspirasi Soekarno juga berasal dari “San Min Chu I” atau tiga prinsip rakyat dari Dr. Sun Yat-sen, yang menjadi fondasi pemikirannya. Menurut Munarman, Pancasila merupakan gabungan beragam ideologi internasional, termasuk dampak doktrin Zionisme terhadap konsep-konsep pokok negara tersebut.

Dia juga menggarisbawahi peranan lobi politik dari malam 17 Agustus sampai pagi hari tanggal 18 Agustus tahun 1945, di mana hal ini mencakup Mohammad Hatta serta sekelompok mahasiswa yang dipengaruhi oleh ide-ide kiri.

Menurut dia, tindakan lobbying tersebut sukses memodifikasi perjanjian perdana BPUPK tanpa menyertakan seluruh pemimpin penting, termasuk K.H. Wahid Hasyim, yang baru saja pulang ke Jawa Timur. “Modifikasi itu diumumkan telah mendapat persetujuan dari komunitas Muslim,” ujarnya, meskipun bukti historis justru membuktikan hal sebaliknya.

Tantangan Mendatang: Mengungkap Kekuatan Superioritas

Munarman menjelaskan bahwa dominasi politik sudah membujuk pikiran publik, bahkan kalangan Muslim, sehingga upaya para pemimpin Muslim dalam melindungi aspek hukum Islam tidak lagi diperhatikan. Dia menyampaikan bahwa pengaruh politik Islam yang sempat mencapai angka 44% di legislatif tahun 1955 turun drastis menjadi hanya 12,5% pada 2002 akibat dominasi ini. “Inilah pekerjaan rumah utama bagi para pemuka agama untuk menghidupkan kembali pengetahuan tentang historikalitas dan mengalahkan hegemoni politik yang berkelanjutan dalam melemahkan norma-norma Islam,” tandasnya.

Sesi seminar ini melibatkan beberapa orang penting seperti Dr. Ahmad Yani, Dr. Harun, serta Habib Rizieq, mereka semua ikut menyajikan pandangan tentang perkembangan sejarah Pancasila dari sudut pandang yang bervariasi. Penyampaiannya ditutup oleh Munarman dengan ajakan agar kita tetap mencari fakta-fakta historis guna mendukung perjuangan akan kebenaran dan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *