.CO.ID –
JAKARTA. Penurunan tekanan pada harga minyak masih berlanjut. Ketidakpastian mengenai pertumbuhan perekonomian AS dan penurunan permintaan semakin memperkuat sentimen negatif pasar.
Akan tetapi, situasi geopolitis yang berkaitan dengan laporan bahwa Israel berencana untuk mengserang instalasi nuklir Iran telah mendorong ketidaknyamanan akan kemungkinan interupsi suplai di kawasan produksi minyak penting di Timur Tengah sehingga menyebabkan peningkatan harga minyak.
Menurut data dari Bloomberg, pada hari Selasa (21/5), nilai minyak WTI meningkat menjadi US$ 62,55 per barel atau sebesar 0,84% dibanding dengan hari sebelumnya. Sementara itu, harga minyak Brent juga terus melambung hingga mencapai US$ 66,26 per barel, yang mana hal tersebut merupakan kenaikan sebanyak 1,35%. Pada minggu ini, fluktuasi harga minyak masih cukup stabil dan tidak banyak berubah.
Analis dari Doo Financial Futures, Lukman Leong menyebutkan bahwa faktor yang dapat mendorong kenaikan harga minyak pada saat ini hanyalah ketidakstabilan geopolitik di wilayah Timur Tengah. Utamanya hal tersebut berkaitan dengan situasi di Gaza serta negosiasi tentang senjata nuklir Iran.
Namun pada dasarnya, selain konflik, permintaan dan pasokannya seharusnya membuat harga minyak tetap bergerak ke arah US$ 50 sampai US$ 55 per barel,” ungkap Lukman, Rabu (21/5).
Potensi tambahan yang dapat memacu kenaikan harga minyak meliputi adanya gangguan suplai yang berarti serta pertumbuhan ekonomi melebihi perkiraan, terutama di Cina.
Selanjutnya adalah pengurangan produksi OPEC+ yang lebih signifikan, penurunan nilai dolar Amerika Serikat secara drastis, atau hambatan cuaca terhadap produksi dan penyulingan.
Ketua Presiden Komisioner dari HFX International Berjangka, Sutopo Widodo menyebutkan bahwa penurunan peringkat kredit Amerika Serikat oleh lembaga Moody’s adalah suatu kejadian signifikan yang mencerminkan kesulitan ekonomi dalam hal fiskal. Meskipun demikian, pengaruhnya secara langsung dan cepat pada harga minyak cukup terbatas.
“Sebatas itu menunjukkan ketakutan tentang pertumbuhan perekonomian AS, suasana hati para pemegang modal, serta peningkatan sikap berhati-hati dalam pasar,” katanya pada hari Senin (19/5).
Organisasi statistik milik Departemen Energi Amerika Serikat atau EIA mengantisipasi bahwa pertumbuhan penggunaan minyak global akan melambat antara tahun 2025 dan 2026, hal ini sebagian besar disebabkan oleh perkiraan penurunan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia.
EIA mengurangi perkiraannya terhadap harga minyak Brent menjadi US$ 65,04 untuk paruh kedua tahun 2025. Di samping itu, stok minyak dunia diperkirakan akan bertambah.
Lukman menambahkan bahwa harga minyak WTI pada paruh pertama tahun 2025 diperkirakan akan berkisar antara US$ 60 per barel. Dia juga menyatakan, “Meskipun demikian, jika terjadi kemajuan yang menguntungkan dalam hal tarif, ini bisa membantu meningkatkan harga walaupun mungkin bersifat sementara.” Katanya seperti itu.
Pada saat ini, mengingat adanya kenaikan pasokan sementara permintaannya turun secara global, seharusnya menurut pendapat Lukman, harga minyak bergerak dalam rentang US$ 50 per barel.
Pada penghujung tahun 2025, perkiraan harga minyak WTI adalah sekitar US$ 55 per barel. Sedangkan untuk tahun 2026, harganya diproyeksikan turun menjadi US$ 50 per barel.