PR GARUT
– Mantan hakim Mahkamah Konstitusi dan juga penulis buku “Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara”, Sri Harjono, menyarankan adanya batas waktu untuk jabatan sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik sebanyak satu periode saja atau tidak melebihi lima tahun. Pendapat ini dia sampaikan saat acara diskusi buku yang berlangsung di gedung UC milik Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta pada hari Minggu tanggal 1 Juni 2025.
Menurut Harjono, partai politik di Indonesia pada masa Reformasi malah merosot dari idealisme demokrasi sebab didominasi secara pribadi dan terkadang dipindahtangankan melalui garis keturunan dalam satu familia. Menurutnya, sistem kepemimpinan yang statis tersebut telah membentuk kondisi dimana peranan partai politik kian condong sebagai alat untuk memperoleh kuasa saja.
“Sepertinya partai politik dimiliki secara pribadi atau oleh keluarga. Hal ini benar-benar bertolak belakang dengan prinsip-demokrasi dan dapat membahayakan sistem kerja berdasarkan keberanian dalam pengelolaan pemerintahan,” kata Harjono.
Pengaruh Kebijakan Keluarga Berkuasa terhadap Pengelolaan Pemerintahan
Selanjutnya, Harjono menggarisbawahi bahwa sikap setia tanpa syarat kepada para pemimpin partai sudah merusak mekanisme rekruitmen politik yang semestinya didasarkan pada kemampuan dan keterampilan. Dia menyatakan, penunjukan anggota partai untuk jabatan publik, entah itu dalam eksekutif atau legislatif, seringkali lebih ditekankan pada tingkat kesetiaannya kepada presiden partai daripada kualifikasi mereka.
“Yang dipilih bukannya berdasarkan keahlian, tetapi karena kesetiaan. Oleh sebab itu, wajar saja apabila ada banyak posisi publik diduduki oleh orang-orang yang kurang memiliki kualifikasi, hanya lantaran dekat dengan para elit partai,” ungkapnya.
Fenomena ini, menurut Harjono, berdampak serius pada efektivitas kebijakan publik. Anggaran negara baik di tingkat pusat (APBN) maupun daerah (APBD) menjadi tidak efisien, bahkan rawan diselewengkan karena dipengaruhi kepentingan politik internal partai.
Perubahan Pada Parpol Menjadi Kiat Utama untuk Masa Depan Negara
Sri Harjono menggarisbawahi bahwa perombakan sistem partai politik merupakan aspek penting untuk mereformasi jalannya pengembangan bangsa. Dia menjelaskan bahwa meskipun umur Republik Indonesia yang baru mencapai kurang lebih satuabad masih di anggap muda, namun tetap diperlukan peningkatan berkelanjutan supaya tujuan-tujuan mulia seperti tertulis dalam Preambil Undang-Undang Dasar 1945 dapat dipertahankan dengan baik.
“Apabila partai politik masih diperlakukan sebagai alat untuk kepentingan pribadi, maka hal ini hanya akan memperpanjang masalah krisis kepemimpinan di masa yang akan datang,” katanya.
Dalam hal ini, dia menyarankan bukan hanya presiden umum dan sekretaris jenderal yang memiliki batasan masa jabatan, melainkan juga kepala partai di tingkat provinsi dan kota/bupati. Tujuan utamanya adalah untuk melenyapkan praktek plutokrasi dalam sistem partai dan sekaligus menciptakan lapangan bagi pergantian generasi baru dan pemberlakuan sistim berdasarkan keberhasilan individu.
Negara Dana Malah Memperkokoh Kekang Elite
Harjono juga menyebutkan tentang dukungan finansial dari pemerintah yang telah disalurkan kepada partai politik dengan perwakilan di parlemen. Menurutnya, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pendidikan politik serta mendukung operasional partai; namun nyatanya hal itu malah menguatkan kedudukan golongan elit yang sudah dominan.
“Bantuan tersebut seperti pupuk yang mendorong pertumbuhan partai politik pribadinya. Apabila tak dilakukan perbaikan sistem, maka negeri ini malah mendanai praktik oligarki,” ujarnya sebagai pengingat.
Topik yang Perlu Ditelaah Secara Kritis
Gagasan Sri Harjono ini memicu perdebatan besar tentang demokrasisasi dalam partai politik di Indonesia. Diskusi tentang batasan masa jabatan para elit partai seharusnya menjadi elemen utama dalam program reformasi politik nasional guna membentuk suatu sistem yang lebih inklusif, jujur, serta fokus pada kesejahteraan masyarakat. ***