– Kebijakan pemerintah yang dipandang menghimpit sektor rokok telah mencetuskan ketidakpastian terkait PHK massal. Serikat buruh menyerukan kepada otoritas untuk lebih memperhatikan dampak dari aturan tersebut pada tenaga kerja, apalagi dalam situasi ekonomi semakin goyah karena keputusan tariff oleh Presiden AS Donald Trump.
Apabila terdapat pemutusan hubungan kerja (PHK), maka tingkat pengangguran bakal bertambah, angka kemiskinan pun meroket, sementara kekuatan pembelian penduduk berkurang. Hal tersebut secara tidak langsung bisa menghambat perkembangan perekonomian di Indonesia. Ancaman serupa menjadi lebih nyata seiring implementasinya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang mencakup batasan komposisi gula, garam, dan lemak (GGL) dalam produk-produk tertentu, disertai pelarangan zonasi jual-beli dan iklan tembakau.
Kementerian Kesehatan sudah menyusun peraturan pelaksana dari PP 28/2024 dengan mengajukan Draft Regulasi Menteri Kesehatan (Permenkes). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menjelaskan bahwa kebijakan ini bakal berdampak signifikan pada sektor bisnis dan lapangan kerja.
Menurut dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus juga memikirkan aspek tenaga kerja selain hanya berkonsentrasi pada masalah kesehatan. Situasi tersebut mendorong permintaan untuk mengoreksi Perpres 28/2024 karena terdapat beberapa pasal yang dipandang kontroversial. Dia menyatakan, “Apabila perusahaan rokok diberlakukan regulasi ketat oleh Kemenkes, hal itu dapat meredupkan produksi rokok dan akhirnya berpotensi membawa kepada pemecatan pekerja.” Hal ini diringkas dalam kutipannya pada hari Minggu tanggal 11 Mei.
Perbedaan pendapat antara pihak kesehatan dan tenaga kerja sampai saat ini masih berlanjut. Menurut Said Iqbal, Kementerian Kesehatan menuntut adanya regulasi yang mengontrol penjualan rokok tanpa memperhitungkan implikasinya pada para pekerja dalam industri tembakau.
“Harus ada solusi
win-win
, tak dapat dipungkiri bahwa sektor kesehatan harus memperhitungkan aspek tenaga kerja, demikian pula sebaliknya. Penting untuk duduk bersama dan menganalisis hal ini,” tandasnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), Janoe Arijanto, menilai bahwa PP 28/2024 juga akan berdampak signifikan pada industri periklanan. Selama beberapa tahun terakhir, iklan rokok telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total pendapatan dari aktivitas periklanan, sehingga menjadi salah satu pemain utama di urutan sepuluh besar pengiklan.
“Penurunan jumlah iklan rokok di berbagai media pasti akan mengecilkan pemasukan dari sektor periklanan,” tambahnya.
Kebijakan ini merupakan langkah keras pemerintah dalam memperketat regulasi bagi industri tembakau, yang turut memberi pengaruh ke bidang periklanan. Seperti disampaikan oleh seseorang, para profesional di sektor reklame outdoor seperti spanduk besar dan bilboard telah merasakan efeknya. Misalkin saja aturan baru melarang promosi rokok dalam jarak 500 meter dari institusi pendidikan, hal itu secara signifikan mengecilkan jumlah tempat dimana spanduk atau billboards dapat dipergunakan sebagai media iklan produk tersebut.
Pembahasan mengenai sekolah atau lembaga pendidikan itu tetap menjadi perdebatan. Dia mencurigai apakah beberapa jenis kursus dan les masuk ke dalam kategori tersebut atau tidak.
Ketidakjelasan definisi tersebut meningkatkan keraguan mengenai masalah teknikal di lapangan. Mungkin aturan tentang tanaman tembakau dalam Peraturan Pemerintah 28/2024 dapat ditafsirkan sebagai area edukasi informal yang melarang pemasangan spanduk iklan.
Sebenarnya, para pemain dalam bidang periklanan luar ruangan sudah menerapkan Kode Etik Periklanan yang menetapkan cara beriklan dengan bijak serta sesuai aturan yang berlaku. Akan tetapi, regulasi yang ditetapkan terus menjadi lebih ketat dan sangat penting adanya partisipasi aktif serta diskusi langsung bersama penggiat industri tersebut.
Dengan metode serupa, pemerintah dapat mengumpulkan pandangan beragam kelompok terkait bagaimana regulasi tersebut dapat disesuaikan lagi agar lebih sesuai, apakah dari sudut pandang kesejahteraan rakyat atau aspek ekonomi,” demikian penjelasan Janoe.